Atheis adalah golongan orang-orang yang tidak mengakui adanya Tuhan.
Yang digarisbawahi di sini adalah pengakuannya terhadap Tuhan, bukan
keberadaan Tuhan itu sendiri. Faktanya, tidak semua orang atheis adalah
atheis sejati. Bahkan boleh dibilang atheisme itu sebenarnya tidak
pernah ada.
Seorang ustadz yang dulu aktif berjuang di lapangan
bersama-sama para demonstran pada era 1997-1998 merasa geli dengan
pengalamannya bersama seorang mahasiswa yang dikenalnya memegang teguh
prinsip-prinsip atheisme. Mahasiswa tersebut terkenal sangat anti-Tuhan,
anti-agama dan anti segala hal yang berbau religius. Apa dinyana,
ketika polisi dan tentara menembakkan peluru tajam ke udara, dia malah
berteriak “Ya Tuhan…!”
Adakah orang yang benar-benar tidak percaya Tuhan?
Suatu malam di Puncak, seorang guru saya, Kang Dicky Zainal Arifin,
pernah bercerita tentang pengalamannya berdialog dengan seorang atheis.
Dialog tersebut kira-kira begini bunyinya :
Kang Dicky : “Kamu tidak percaya sama Tuhan?”
Atheis : “Tidak!” (menjawab mantap)
Kang Dicky : “Mau ketemu Tuhan?”
Atheis : “Mau!”
Kang Dicky : “Dengan cara apa Anda ingin mati?”
(dialog sempat terhenti karena orang atheis ini jadi tersinggung dan merasa dibodohi)
Kang Dicky : “Kamu tidak percaya adanya hidup setelah mati?”
Atheis : “Tentu tidak!”
Kang Dicky : “Perlu bukti?”
Atheis : “Jelas!”
Kang Dicky : “Dengan cara apa Anda ingin mati?”
(orang atheis tersebut makin tersinggung saja)
Dalam Al-Qur’an, iman kepada Allah seringkali digandengkan dengan iman
kepada hari akhirat (contohnya pada Q.S. Al-Baqarah : 8). Iman kepada
Allah dan kepada hari akhirat adalah dua serangkai yang amat fundamental
yang bisa menjadi parameter seluruh keimanan seseorang.
Manusia
adalah makhluk yang suka memandang hasil, bukan proses. Tanpa adanya
hari pertanggungjawaban di akhirat, mungkin tidak akan ada yang peduli
dengan aturan-aturan agama. Surga dan neraka adalah alat-alat Allah
untuk memberi motivasi kepada manusia untuk tunduk patuh pada
perintah-Nya. Kalau manusia tidak diiming-imingi dengan kenikmatan surga
atau dibuat takut dengan siksa neraka, mungkin hanya sedikit sekali
manusia yang mau beriman. Namun perlu diingat bahwa semua ibadah kita
lakukan hanya karena Allah, bukan karena pahala atau karena surga.
Inilah level pemahaman keimanan yang sangat tinggi yang telah mencapai
derajat kecintaan kepada Allah.
Beriman kepada Allah dan hari
akhir adalah fundamental dalam Islam. Kita tidak dapat memilih salah
satu dari keduanya, karena akan menjadi rancu. Kita beriman kepada
Allah, tapi bagaimana kita akan terdorong untuk mematuhi
aturan-aturan-Nya, sementara kita tidak percaya adanya hari akhirat?
Kalau setelah mati kita tidak akan disuruh mempertanggungjawabkan
kehidupan kita di dunia, lalu buat apa capek-capek beribadah?
Demikianlah ilustrasi pentingnya keimanan kepada Allah dan hari akhir
tersebut.
Dialog antara Kang Dicky dan orang atheis tadi
sebenarnya mengandung makna yang dalam. Jika ia (orang yang mengaku
atheis itu) benar-benar tidak percaya adanya Tuhan dan kehidupan setelah
mati, mengapa ia menolak kematian? Kenapa manusia takut mati? Bukankah
hidup ini banyak sakit, lelah dan kecewanya? Mengapa kita menolak
kematian, padahal kematian itu adalah istirahat yang tanpa batas?
Jawabannya jelas : di hati kecil setiap manusia tersembunyi kekhawatiran akan adanya pertanggungjawaban setelah kematian.
Tidak ada manusia yang senang dengan kematian, karena mereka khawatir
akan dimintai pertanggungjawaban setelah mati. Kaum Muslim yang terjun
ke medan perang tidak takut mati karena dijanjikan akan mati syahid,
sementara yang syahid tersebut pasti masuk surga tanpa melalui
‘formalitas’ pertanggungjawaban atau hisab. Dengan kata lain, jika kita
tidak lagi mengkhawatirkan hidup sesudah mati, maka kita tidak akan
takut mati. Sebaliknya, orang yang masih takut mati berarti masih
mempercayai adanya Tuhan dan hari akhir, meskipun lidahnya
menyangkalnya.
Kebanyakan orang atheis sebenarnya tidak atheis.
Mereka hanya orang-orang yang kecewa dengan kehidupan mereka sendiri.
Mereka merasa bahwa Tuhan adalah pelayannya. Jika Tuhan tidak memberikan
^pelayanan^ yang cukup baik, mereka pun merasa kecewa.
Bibit-bibit dari sikap ini ada di kehidupan kita sehari-hari. Karena
sakit sedikit, kita langsung mengeluh. Padahal, hari-hari ketika kita
sehat jauh lebih banyak daripada ketika kita sakit. Umat Islam beruntung
memiliki panutan sekaliber Nabi Ayyub as. Beliau diuji dengan berbagai
cobaan semasa hidupnya. Selama tujuh tahun ia mengalami kegagalan dalam
bisnis, ternak-ternaknya mati, bahkan dirinya pun menderita berbagai
macam penyakit. Ketika istrinya mengeluh, Nabi Ayyub as. malah berbalik
marah kepadanya. Menurut beliau, Allah telah memberi mereka hidup senang
selama puluhan tahun. Tidaklah patut bagi mereka untuk berkeluh kesah
menghadapi kesusahan yang hanya tujuh tahun lamanya. Inilah fungsi
sebenarnya dari matematika, yaitu mengajari kita caranya berhitung
dengan benar.
Ada pula orang-orang yang bertanya-tanya, “Jika
Tuhan itu memang ada, mengapa ada bencana, kelaparan, peperangan, wabah
penyakit dan kemiskinan?”. Pertanyaan ini sama seperti kisah seseorang
yang bertanya, “Jika ada tukang cukur, mengapa masih ada orang yang
rambutnya berantakan tak terurus?”. Jawabannya jelas, karena masih ada
orang yang tidak mau ke tukang cukur. Sama saja dengan berbagai
penderitaan dalam hidup manusia yang muncul karena manusianya yang tidak
mau ‘datang’ kepada Tuhan.
Kenapa mereka kecewa dengan hidup?
Ini sebuah pertanyaan lain lagi. Kuncinya adalah pada tujuan hidup
mereka. Jika tujuan hidup kita adalah menciptakan perdamaian di dunia,
maka kita tidak akan pernah puas, karena ada saja manusia yang suka
merusak kedamaian. Jika tujuan hidup kita adalah menciptakan dunia tanpa
kelaparan, maka kita tidak akan pernah puas, karena ada saja segolongan
manusia yang suka menindas orang lain. Jika tujuan kita adalah Allah,
maka kita akan senantiasa dinamis, karena Allah menyukai orang-orang
yang aktif berkarya, dan kita pun tidak akan kecewa menghadapi
kegagalan, karena Allah menuntut kerja keras, bukan keberhasilan.
Keberadaan Allah bukan menjadi suatu beban, bahkan menjadi pelipur lara
bagi setiap Muslim. Kita berjalan jauh untuk melaksanakan suatu
kebaikan, namun kebaikan itu tidak berhasil kita wujudkan. Apakah kita
perlu kecewa? Bukankah Allah Maha Melihat amal-amal kita? Bukankah Allah
Maha Teliti dalam perhitungan-Nya? Setiap otot yang bergerak, darah
yang mengalir dalam pembuluh darah, keringat yang mengalir dan
persendian yang kelelahan pasti akan mendapatkan ganjaran dari kebaikan
yang dibuatnya, meski pada akhirnya kita mengalami kegagalan.
Orang-orang atheis seharusnya tidak takut mati. Buat mereka, hidup
adalah penderitaan dan mati adalah akhir yang kosong, tanpa makna, tanpa
pertanggungjawaban. Jadi kalau masih takut mati, bisa dipastikan ia
bukanlah seorang atheis.
Memang banyak orang yang bunuh diri,
tapi mereka pun tidak bisa dianggap atheis yang sebenarnya. Kebanyakan
orang bunuh diri tanpa pikir panjang, tanpa menggunakan akal sehat.
Kalau pun sudah memikirkannya sejak jauh-jauh hari, mereka pun tidak
pernah melihat orang lain bunuh diri. Karena itulah mereka tidak takut
untuk bunuh diri. Kalau saja mereka meluangkan lebih banyak waktu untuk
berpikir, mereka tidak akan bunuh diri. Tentu saja, tidak termasuk
orang-orang sakit jiwa yang cenderung mencelakai diri sendiri.
Jadi, siapakah yang atheis?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar